Minggu, 20 April 2014

Makalah Suku Madura

Posted by Dimas Hartono on 20.26




BAB I

PENDAHULUAN   

  1. Latar Belakang

  2. Suku bangsa atau etnisitas adalah suatu golongan manusia yang anggota – anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Identitas suku pun ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut dan oleh kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau ciri-ciri biologis.
    Indonesia sebagai Negara yang memiliki banyak pulau tentulah memiliki banyak suku atau etnis pula sebab pasti dari jumlah pulau maupun suku tersebut pastilah ada perbedaan yang menimbulkan ketidaksamaan identitas dan ciri khas .Antara suku satu dan suku yang lainnya pastilah muncul adanya masyhurul ahwal baik dari segi sejarah, sistem teknologi, mata pencaharian, kesenian dan agama .Maka sehubungan dengan tugas paper mata kuliah Peradaban Islam, maka kami susun warna warni etnisitas Madura yang merupakan suku penulis, Waba`du penulis harap koreksi dan edit dosen pemangku dapat menyempurnakan paper yang penuh dengan keterbatasan ini.
  3. Rumusan Masalah

  4. Berdasarkan latar belakang di atas maka dalam makalah ini akan dirumuskan masalah sebagai berikut:
    1. Bagaimana Sejarah suku Madura ?

    2. Bagaimana Sistem teknologi dan Mata Pencaharian suku Madura ?

    3. Seperti Apa Adat Istiadat dan Stratifikasi social suku Madura ?

    4. Apa saja Kesenian dan keagamaan suku Madura ?

    5. Bagaimana interaksi social suku Madura?

    6. Seperti Apa Budaya hukum suku Madura ?


  5. Tujuan

  6. Sesuai dengan rumusan masalah tersebut maka tujuannya adalah memberikan pemahaman tentang:
    1. Sejarah suku Madura

    2. Sistem teknologi dan Mata Pencaharian suku Madura

    3. Adat istiadat dan Stratifikasi social suku Madura

    4. Kesenian dan keagamaan suku Madura

    5. Interaksi social suku Madura

    6. Budaya hukum suku Madura

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Sejarah suku Madura

  2. Dikisahkan bahwa ada suatu negara yang bernama Mendangkamulan dengan seorang Raja yang bernama Sangyangtunggal beliau mempunyai anak gadis bernama Bendoro Gung. Yang pada suatu hari hamil dan diketahui Ayahnya. Raja amat marah karena kehamilan putri kesayangannya tidak bisa masuk akal akhirnya dia menyuruh sang Patih yang bernama Pranggulang untuk membunuh anaknya itu. Karena tidak tega melihat putrid Bendoro ging maka ia tidak membunuh anak Raja itu melainkan mengasingkannya ke tepi laut sambil berucap perkgilah ke “Madu Oro” (waktu itu hanya sebuah dua bukit di tengah laut yang kemudian sekarang tempat tersebut disebut gunung Geger di Bangkalan dan bukit yang kedua adalah gunung Pajudan Sumenep) dan patih yang baik hati itu tidak kembali ke Istana dengan tujuan takut di bunuh oleh raja karena telah melalaikan tugasnya dia juga merubah namanya dengan Ki Poleng serta melepas pakaian kebangsawanannya dan di ganti dengan kain tenun (kain sederhana yang kemudian menjadi ciri khas orang Madura). Putri raja yang hamil yang malang merasa perutnya sakit dan segera ia memanggil Ki Poleng dengan cara mengepakkan kakinya kebumi sebanyak tiga kali sesuai petunjuknya dulu. Tidak lama kemudian Ki Poleng datang dan mengatakan bahwa Bendoro Gung akan melahirkan anak Akhirnya putra tersebut yang diberi nama Raden Segoro (artinya laut, sebab dia lahir ditengah laut).
    Maka dapat disimpulkan bahwa istilah Madura berasal dari akar kata Madu Oro yang merupakan lontaran dari patih yang bijaksana dalam menyimbolkan dua bukit ditengah lautan. Sedangkan asal usul penduduk pulau Madura merupakan anak cucu dari Raden Segoro dari ibu Bendoro Gung.
  3. Sistem Teknologi dan Mata Pencaharian Suku Madura

  4. Secara histori, Madura selama berabad-abad berada di bawah pengaruh kekuasaan kerajaan Hindu seperti Kediri, Singhasari, dan Majapahit. Lalu sempat dibawah kepemimpinan kerajaan Islam Demak akan tetapi setelah itu Madura berada di bawah Kekuasaan kolonial Belanda selama kurun waktu yang tidak pendek sampai akhirnya Madura menjadi bagian dari provinsi Jawa Timur.
    Nah, sejak masa itulah tiada perkembangan berarti dalam segi sistem teknologi dan mata pencaharian namun bila berbicara masalah Sistem teknologi suku Madura yang jelas tidak bisa lepas dari yang namanya cangkul, clurit, jala dan sapi sebab mereka telah masyhur melakukan tradisi mata pencaharian turun temurun dari nenek moyangnya, yaitu bertani, berkebun, nelayan, penambak ikan walaupun toh banyak juga yang menjadi budak ringgit maupun riyal.
  5. Adat Istiadat dan Stratifikasi Social Suku Madura

  6. Anggota suatu suku bangsa pada umumnya ditentukan menurut garis keturunan ayah seperti suku bangsa Batak, menurut garis keturunan ibu seperti suku Minang atau menurut keduanya seperti suku Jawa, namun Adapula yang menentukan berdasarkan percampuran ras seperti sebutan orang Peranakan untuk campuran bangsa Melayu dengan Tionghoa, orang Indo sebutan campuran bule dengan bangsa Melayu dan bahkan pengelompokan etnis juga ditentukan menurut agama misalnya sebutan Melayu di Indonesia maupun Malaysia untuk orang bumiputera yang muslim, orang Serani bagi yang beragama Nasrani, suku Muslim di Bosnia, orang Moro atau Bangsamoro di Filipina Selatan, dan sebagainya begitu pula pembagian etnis di Pulau Madura
    Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan serta sifatnya yang keras dan mudah tersinggung, tetapi mereka juga dikenal hemat, disiplin dan rajin bekerja. Untuk naik haji, orang Madura sekalipun miskin pasti menyisihkan sedikit penghasilannya Selain itu orang Madura dikenal mempunyai tradisi Islam yang kuat bahkan Prof. Dr. Deliar Noer menyebutkan: Madura adalah benteng Islam di Indonesia sebab kekentalan agamis masyarakat dan akar faham yang sangat kuat sekalipun kadang melakukan ritual Pethik Laut atau Rokat Tasse (sama dengan Larung Sesaji)
    Jadi tidak perlu heran Jika Aceh dikenal sebagai serambi Mekkah, maka Madura adalah serambi Madinah-nya. Tak banyak daerah yang mendapat kehormatan dilekati label istimewa ini. Dari kedua atribut tersebut dengan mudah terlihat posisi dan kultur yang khas, yakni kelekatannya dengan tradisi keislaman, bahkan menurut Rasul Junaidy suku madura memiliki tiga nilai yang sangat menjadi acuan berpikir dan bertindak, ketiga nilai tersebut di tuangkan kedalam unsur – unsur prilaku kehidupan sehari – hari yaitu :

    1. Kesopanan
    2. Walau orang di luar Madura menilai mereka sangat kasar, namun penghormatan terhadap nilai-nilai kesopanan sangat tinggi sekali. Betapa pentingnya nilai kesopanan ini nampak dari ungkapan ta'tao batona langgar (tidak pernah merasakan lantainya langgar). Maksudnya, orang tersebut belum pernah masuk langgar dan mengaji atau belum pernah mondok, sehingga tidak tahu tatakrama kesopanan. Ungkapan ini untuk orang yang tidak tahu atau melanggar nilai-nilai kesopanan. Ungkapan lain yang memberikan nasihat dan ajaran tentang keharusan bersopan santun adalah : pa tao ajalan jalana jalane, pa tao neng ngenneng, pa tao a ca ca (yang menjadi kewajiban harus dilaksanakan sesuai dengan aturan. Harus tahu saatnya diam, harus tahu saatnya berbicara). Hal ini bermakna bahwa orang Madura harus selalu tahu aturan, nilai dan tatakrama dalam setiap tindakannya
      Selain itu, setiap kewajiban harus dilaksanakan dengan mendasarkan pada aturan-aturan tata krama yang ada. Orang dan masyarakat Madura selalu menekankan bahwa mon oreng riya benni bagusse, tape tatakramana, sanajjan bagus tapi tatakramana jube', ma' celep ka ate (yang penting bukan ketampanan atau kecantikan, namun utama tatakramanya)
      Dasar utama dari nilai-nilai kesopanan adalah penghormatan orang Madura kepada orang lain, terutama yang lebih tua. Nilai-nilai kesopanan ini mengatur hubungan antargenerasi, kelamin, pangkat dan posisi sosial

    3. Kehormatan
    4. Masyarakat Madura sangat mengutamakan penghormatan dan penghargaan, apalagi kepada yang lebih tua atau yang mempunyai kedudukan sosial yang lebih tinggi, sehingga menjadikan nilai-nilai kesopanan menjadi sangat penting sekali dalam kehidupan bermasyarakat. masyarakat Madura tidak mau diremehkan, namun demikian penonjolan diri juga tidak dihargai. contohnya ungkapan madu ben dere (madu dan darah), yang berarti bila orang Madura diperlakukan secara baik, menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan dan penghormatan, maka balasannya adalah kebaikan pula. Sebaliknya, bila ia diperlakukan secara sewenang-wenang dan tidak adil, maka balasannya jauh lebih berat bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah

      Hubungan sosial masyarakat Madura selalu saling menghormati dan menghargai sebagai sesama manusia dan menjaga untuk tidak saling menyakiti. Hal ini sangat nampak dari ajaran ja' nobi' oreng mon aba'na e tobi' sake' (janganlah menyakiti orang lain, kalau diri-sendiri merasa sakit jika disakiti orang).
      Harga diri atau martabat adalah nilai yang sangat mendasar dalam masyarakat Madura. Harga diri harus selalu dipertahankan agar tidak diremehkan orang lain. Dasar utama dari harga diri adalah rasa malu (rasa malo atau todus). Orang Madura selalu menekankan bahwa tambana todus mate' (obatnya malu adalah mati). lebih bagus apote tolang etembang apote mata (lebih baik mati daripada malu tidak dapat mempertahankan harga diri). Nilai-nilai harga diri bagi masyarakat Madura selain berkaitan dengan ego, wanita dan agama juga berkait erat dengan masalah tanah dan air

    5. Agama
    6. Simbol keagamaan yang seringkali digunakan adalah kyai. Itulah yang menyebabkan lapisan atas pada stratifikasi sosial ditempati oleh para kiai. Mereka bukan hanya sebagai pemuka agama namun juga sebagai pemimpin masyarakat. Para kyai dipandang memiliki kendali legitimasi dan otoritas kharismatis, sehingga buah pikirannya mudah sekali untuk disepakati.
      Kepemimpinan yang disandang para kyai adalah bersifat berpengaruh penting dalam beberapa bidang sekaligus. Bukan hanya dalam bidang keagamaan, melainkan juga dalam kegiatan sosial, bahkan mungkin juga politik.
      Tiga ciri dasar kehidupan sosial budaya tersebut merupakan ciri orang dan masyarakat Madura secara keseluruhan, tak terkecuali orang dan masyarakat Madura yang bertempat tinggal di luar pulau Madura namun Tidak hanya itu karakter orang Madura, masih banyak ahwal yang sering ‘membidani’ perbedaan mencolok dengan etnis lain salah satunya adalah Harga diri, sifat ini masyhur juga paling penting dalam kehidupan orang Madura, mereka memiliki sebuah peribahasa "Lebbi Bagus Pote Tollang, atembang Pote Mata". Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata), Tradisi carok juga berasal dari sifat itu.

    7. Stratifikasi Sosial / Pelapisan Sosial Masyarakat Madura

      1. Oreng Kene’ / Dume’ = Sebagai Lapisan Terbawah, Yaitu : masyarakat  yang biasanya kebanyakan bekerja sebagai petani – nelayan – pengrajin dan orang yang tidak mpunya mata pencaharian tetap.

      2. Ponggaba, Yaitu : orang yang bekerja di Instansi normal terutama di Kantor Pemerintah.

      3. Parjaji, Yaitu : Lapisan masyarakat yang berada paling atas.

      4. Parjaji ada 2 macam pengertiannya :
        • Orang – orang yang masih keturunan raja di Madura pada saat itu. Biasanya tingkatan Gelar Ke Bangsawanan nya seperti RA-RP-RB-R.mas-R ( Untuk laki – laki ) R.Ayu / R.Ajeng, R.Roro ( Untuk wanita )
        • Orang – orang berpangkat menengah sampai dengan tinggi pada saat  Pemerintahan Belanda, seperti Asisten Wedana (Camat) – Wedana Patih –Kanjeng / Bupati, dsb.


    8. Stratifikasi di lingkungan masyarakat agama / pesantren

    9. Stratifikasi di lingkungan masyarakat agama / pesantren yang kita kenal ada 4 Tingkatan, Yaitu ( Dari yang ter-atas ) :
      1. KEYAE

      2. Adalah seseorang yang dikenal sebagai pemuka Agama (Ulama) karena menguasai banyak Ilmu Agama Islam. Selain berfungsi sebagai pembina ummat juga sebagai penerus / pengajar ajaran para Nabi pada santri – santrinya.

      3. BINDARAH
      4. Adalah orang – orang yang telah mendapatkan / men-tamatkan pendidikannya di Pondok Pesantren, dan mereka telah memiliki pengetahuan keagamaan yang cukup banyak tetapi belum setara dengan pengetahuan Keyae.
        Ada Pula Bindarah yang sudah banyak didatangi orang untuk NYABIS terutama di Desa / Dusun yang agak jauh dari seorang Keyae.
      5. SANTRE

      6. Adalah orang – orang yang masih sedang menuntut Ilmu keagamaan di sebuah Pondok Pesantren.

      7. BANNE SANTRE

      8. Seseorang yang tidak pernah Mondok / tidak pernah menuntut Ilmu keagamaan di sebuah Pondok Pesantren.
  7. dan Keagamaan Suku Madura

  8. Madura memiliki kekayaan kesenian tradisional yang amat banyak, beragam dan amat bernilai. Dalam menghadapi dunia global yang membawa pengaruh materalisme dan pragmatisme, kehadiran kesenian tradisional dalam hidup bermasyarakat di Madura sangat diperlukan, agar kita tidak terjebak pada moralitas asing yang bertentangan dengan moralitas local. Berikut contoh keseniannya :

    • Tembang Macapat
    Tembang macapat adalah tembang yang dipakai sebagai media untuk memuji Allah sebelum dilaksanakan shalat wajib, tembang tersebut penuh sentuhan lembut dan membawa kesahduan jiwa. Selain berisi puji-pujian tembang tersebut juga berisi ajaran, anjuran serta ajakan untuk mencintai ilmu pengetahuan, ajaran untuk bersama-sama membenahi kerusakan moral dan budi pekerti, mencari hakekat kebenaran ser ta membentuk manusia berkepribadian dan berbu daya. Melalui tembang ini setiap manusia diketuk hatinya untuk lebih memahami dan mendalami makna hidup. Syair tembang macapat merupakan manivestasi hubungan manusia dengan alam, serta ketergantungan manusia kepada Sang Penguasa Alam Semesta.

    • Saronen
    Saronen. adalah musik sangat serbaguna yang mampu menghadirkan nuansa sesuai dengan kepentingannya. Walaupun musik saronen adalah perpaduan dari beberapa alat musik, namun yang paling dominan adalah liuk-liukan alat tiup berupa kerucut sebagai alat musik utama, alat musik tersebut bernama saronen yang bersal dari desa Sendang Kecamatan Pragaan Sumenep dengan akar kata senninan (hari senin) sebab kebanyakan dilantunkan pada hari senin

    • Duplang
    Tari duplang merupakan tari yang spesifik, unik dan langka. Keunikan dari tarian ini disebabkan karena tarian ini merupa kan sebuah penggambaran kehidupan seorang wanita desa. Wanita yang bekerja keras sebagai petani yang selama ini terlupakan. Dijalin dan dirangkai dalam gerakan-gerakan yang sangat indah, lemah-lembut, dan lemah gemulai.

    • Upacara Sandhur Pantel
    Upacara Sandhur Pantel merupakan sebuah upacara ritual untuk para masyarakat Madura yang berprofesi sebagai petani atau nelayan. Upacara rital ini merupakan upacara yanag menghubungkan manusia dengan makhluk ghaib atau sebagai sarana komunikasi manusia dan Tuhan Pencipta Alam Semesta. Bentuk upacara ini berupa tarian dan nyayian yang diiringi musik. Hampir di seluruh wilayah Madura melakukan ritual ini. Lambat laun, upacara ini tidak dilakukan lagi karena bertentangan dengan ajaran agama islam. Upacara ini haram hukumnya jika dilaksanakan.

    • Kerapan Sapi
    Sebuah perlombaan dengan menggunakan sapi sebagai media, akan tetapi sekarang jarang dilakukan karena dianggap menyakiti hewan yang juga mahluk hidup
    Masalah agama di Pulau Garam Madura tidak perlu di ragukan lagi kentalnya bahkan akhir – akhir ini beberapa kabupaten sedang merintis daerah berbasis syari`at islam seperti di Bangkalan dengan prakarsa R.KH. Fuad Amin Imran akan di terapkan sistem Tarbiyatul islam kaaffah dengan dimulai dengan pembelajaran syari`at islam sejak usia dini melalui pendidikan pada seluruh siswa sekolah dasar dan Pamekasan dengan istilah Gerbang Salam melalui rumusan trend seragam sekolah yang menutupi aurat .
    Pembicaraan tentang agama bagi masyarakat Madura adalah identik dengan Islam. Islam adalah sangat meresap dan mewarnai pola kehidupan masyarakat. Betapa pentingnya nilai-nilai agama terungkap dari ajaran abantal syahadat, asapo' angin, apajung Allah. Artinya, masyarakat Madura sangat religius. Masyarakat Madura tergolong pemeluk Islam yang taat. Demikian lekatnya Islam pada masyarakat Madura, sehingga akan terdengar aneh apabila ada orang Madura yang tidak beragaman Islam. Akan tetapi ada juga masyarakat Madura yang memeluk agama lain namun bukan faktor bawaan dari lahir melainkan faktor perkawinan silang ataupun transmigrasi penduduk.

    5.Interaksi social suku Madura

         Sebagaimana dikatakan oleh Geertz (1981), yang dimaksud dengan unsur-unsur primordial adalah: "Unsur-unsur sosial budaya yang lahir dari yang ‘dianggap ada’ dalam kehidupan sosial. Sebagian besar dari hubungan langsung dan hubungan keluarga, tetapi juga meliputi keanggotaan dalam lingkungan keagamaan tertentu, bahasa tertentu atau dialek tertentu serta kebiasaan-kebiasaan sosial tertentu. Persamaan-persamaan hubungan darah, ucapan atau bahasa, kebiasaan, dan sebagainya memiliki kekuatan yang meyakinkan". Menurut Glaser dan Moynihan (1981), yang termasuk unsur-unsur penting primordial adalah genealogi (keturunan dan ikatan kekerabatan), sistem kepercayaan (termasuk religi dan agama), dan bahasa.

         Dalam realitas kehidupan sehari-hari, unsur-unsur primordial menjadi pengikat utama dalam membentuk suatu identitas kelompok etnik. Identitas ini menjadi penanda ciri atau karakter tersendiri yang terwujud dalam sikap dan perilaku budaya mereka. Dengan kata lain, unsur-unsur primordial yang dimiliki oleh suatu kelompok etnik akan menjadi unsur pembeda identitas diri dari suatu kelompok etnik yang lain. Dalam sistem interaksi sosial, perilaku budaya merupakan perilaku simbolik yang pemaknaannya harus dilakukan secara kontekstual. Artinya, setiap orang dari suatu kelompok masyarakat harus mampu mengidentifikasi dan memahami makna simbolik dari perilaku budaya tersebut. Pemahaman yang sama terhadap suatu perilaku simbolik di antara obyek dan subyek sangat penting untuk mengantisipasi terjadinya kesalahpahaman dalam interaksi sosial. Dengan persepsi ini, pemahaman yang sama tersebut dapat meminimalisasi timbulnya konflik yang bernuansa etnik. Setiap orang atau kelompok masyarakat dan kebudayaan harus menghindari perilaku etnosentrisme yang dapat menimbulkan ketegangan sosial.

         Elemen penting primordial (purba) yang selalu muncul (dan sengaja dimunculkan) dalam interaksi sosial adalah ikatan kekerabatan. Dalam masyarakat Madura, ikatan kekerabatan terbentuk melalui garis keturunan, baik dari keluarga berdasarkan garis ayah maupun garis ibu (paternal and maternal relatives). Pada umumnya, ikatan kekerabatan antarsesama anggota keluarga lebih erat dari garis keturunan ayah sehingga cenderung "mendominasi". Ikatan kekerabatan orang Madura mencakup sampai empat generasi ke atas (ascending generations) dan ke bawah (descending generations) dari ego.

         Dalam sistem kekerabatan masyarakat Madura dikenal tiga kategori sanak keluarga atau kerabat (kinsmen), yaitu taretan dalem (kerabat inti atau core kin), taretan semma’ (kerabat dekat atau close kin), dan taretan jau (kerabat jauh atau peripheral kin). Di luar ketiga kategori ini disebut sebagai oreng lowar (orang luar) atau "bukan saudara" (lihat Wiyata: 2002). Dalam kenyataannya, meskipun seseorang sudah dianggap sebagai oreng lowar tetapi bisa jadi hubungan persaudaraannya lebih akrab daripada kerabat inti, misalnya karena adanya ikatan perkawinan atau kin group endogamy.

         Hubungan sosial yang sangat akrab dapat pula dibangun oleh orang Madura dengan orang-orang di luar lingkungan kerabat tanpa memperhatikan asal-usul kelompok etnik. Biasanya hubungan sosial itu selain didasarkan pada adanya kesamaan dalam dimensi primordial, tidak jarang terjadi juga karena faktor kesamaan kepentingan di bidang ekonomi dan politik. Bila kualitas hubungan sampai mencapai tingkatan yang sangat akrab, mereka akan dianggap dan diperlakukan sebagai keluarga atau kerabat (taretan). Sebaliknya, ada kalanya anggota keluarga (taretan termasuk taretan ereng) justru dianggap dan diperlakukan sebagai oreng (bukan keluarga atau kerabat) jika kualitas hubungan kekerabatannya sangat rendah, misalnya karena adanya perselisihan tentang harta warisan. Dalam ungkapan Madura, hal yang demikian disebut oreng daddi taretan, taretan daddi oreng. Artinya, orang lain yang bukan keluarga dapat dianggap sebagai saudara, sebaliknya saudara sendiri dapat dianggap sebagai bukan keluarga. Dalam konteks ini, unsur kekerabatan orang Madura mengandung makna inklusivitas sehingga memberi ruang bagi terwujudnya integrasi sosial dengan kelompok etnik lain.

         Selain ikatan kekerabatan, agama menjadi unsur penting sebagai penanda identitas etnik suatu kelompok masyarakat. Bagi orang Madura faktor ini seakan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari jati diri mereka. Artinya, jika orang Madura telah menjadi pemeluk agama selain Islam, dirinya akan merasa identitas ke-Madura-annya telah berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Bahkan, lingkungan sosialnya akan menganggap hal yang sama. Pada gilirannya, dia akan selalu merasa terasing dalam lingkungan pergaulan sosial budaya Madura.

         Dalam kehidupan sosial orang Madura di Kalimantan, khususnya di Kota Sampit, hubungan persaudaraan antara orang Madura dengan orang-orang Dayak yang beragama Islam ternyata sudah terjalin dengan sangat baik sebelum terjadinya konflik. Pengalaman Mus (30), salah seorang pengungsi Sampit yang ada di wilayah Kabupaten Jember ketika ditemui di tempat kerabatnya membuktikan tentang hal itu. Mus menceritakan bahwa sebelum terjadinya pembantaian, puluhan orang Dayak lokal (Sampit) yang beragama Islam mendatanginya di kompleks pondok pesantren yang dikelola oleh ayahnya. Sebagai sesama Muslim, orang-orang Dayak lokal tersebut memohon kepada ayahnya untuk segera meninggalkan Sampit dalam waktu tiga hari agar terhindar dari pembantaian. Untuk menghilangkan kesangsian ayahnya atas permohonan tersebut, orang-orang Dayak lokal itu menyerahkan sebilah mandau sebagai cermin komitmen perdamaian dan kesungguhan hati. Pengalaman Mus ini menjadi modal budaya orang Madura untuk membentuk "kekerabatan semu" (pseudo kinship) dengan etnik lain.

    Sebagaimana lazimnya pada masyarakat atau kelompok etnik lain, orang Madura juga lebih memperhatikan faktor agama dalam urusan perkawinan atau perjodohan. Sekalipun demikian, dalam hal-hal yang lain, orang Madura menghargai pluralisme sosial keagamaan dan keetnikan.

    Bahasa

    Bahasa merupakan salah satu identitas kelompok etnik yang tampak jelas dalam suatu interaksi sosial masyarakat majemuk (Gumperz, ed. 1982). Salah satu identitas Orang Madura adalah bahasa Madura. Bahasa Melayu merupakan salah satu penanda identitas orang Melayu. Bahasa Dayak juga merupakan salah satu identitas budaya orang Dayak. Orang-orang Madura di Pontianak menguasai dengan baik bahasa Melayu, bahasa Indonesia, dan bahasa Madura.

    Penggunaan bahasa-bahasa tersebut ditentukan oleh konteks interaksi yang mereka hadapi. Dalam pergaulan sehari-hari, seperti di tempat-tempat publik, bahasa Melayu merupakan bahasa komunikasi dan interaksi sosial yang digunakan oleh orang-orang Madura. Bahasa Indonesia akan digunakan oleh orang-orang Madura jika mereka berurusan dengan instansi atau dalam situasi resmi. Bahasa Madura digunakan di dalam lingkungan internal mereka.

    Dalam masyarakat multietnik, seperti di Kota Pontianak, bahasa Melayu merupakan bahasa dominan yang digunakan dalam pergaulan sosial. Secara historis, dominasi bahasa Melayu ini terkait dengan masa awal keberadaan orang Melayu di kota tersebut. Seperti halnya kota-kota maritim lainnya di tanah air, Pontianak yang merupakan kota bandar maritim telah menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan (lingua franca) penduduk setempat. Keberadaan kota ini juga tidak terlalu jauh dengan Riau yang merupakan daerah asal bahasa Melayu. Karena itu, orang-orang Melayu merupakan penduduk lokal yang lebih awal kedatangannya di kota Pontianak dibandingkan dengan orang Madura.

    Konteks historis dan geografis di atas telah menempatkan bahasa Melayu memiliki kedudukan dan peranan yang penting dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Pontianak. Karena bahasa Melayu merupakan referensi komunikasi sosial, para pendatang pun seperti orang-orang Madura harus belajar dan menggunakan bahasa tersebut dengan baik. Pemahaman yang baik terhadap bahasa Melayu sering mendorong timbulnya gejala interferensi leksikal ketika orang-orang Madura berbicara dalam bahasa Madura di lingkungan internalnya atau ketika mereka berbahasa Indonesia dengan orang yang baru dikenalnya.

    Sebagai sarana interaksi sosial, penguasaan bahasa Melayu tidak hanya untuk mengekspresikan diri, tetapi juga menjadi media integrasi sosial dengan orang-orang Melayu atau penduduk Pontianak. Dalam konteks integrasi sosial, bahasa bukan sekadar untuk meningkatkan "daya keberterimaan" masyarakat lokal terhadap kehadiran dan eksistensi orang-orang Madura, memudahkan pemahaman terhadap budaya masyarakat lokal, tetapi juga menjadi sarana untuk mempermudah akses terhadap sumber daya ekonomi lokal.

    Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan orang-orang Madura dalam menguasai sektor-sektor ekonomi informal adalah karena kemampuannya menguasai bahasa Melayu dengan baik sesuai dengan tujuan-tujuan interaksi sosial seperti di atas. Jika orang-orang Madura mampu keluar dari batas-batas identitas budaya mereka untuk menguasai pemakaian bahasa Melayu secara 'baik dan benar', apakah orang Melayu melakukan hal serupa terhadap bahasa Madura sebagai sarana untuk menjalin kerja sama dan memahami dengan baik identitas ke-Madura-an?
    Terlokalisasinya penggunaan bahasa Madura untuk lingkungan internal yang terbatas merupakan bukti jika bahasa ini belum digunakan secara lintas etnik. Baik orang Melayu maupun orang Dayak belum tentu bisa dengan baik berbahasa Madura. Pemahaman bahasa Madura yang minimal seperti ini menyulitkan orang Melayu dan Dayak mengembangkan integrasi sosial atau kedekatan sosial dengan orang Madura. Segregasi sosial di antara kelompok-kelompok etnik tersebut tetap berlangsung karena belum berkembangnya pemahaman timbal-balik terhadap bahasa masing-masing.

    Kasus integrasi sosial-budaya Madura dan Jawa di kawasan "tapal kuda" Jawa Timur merupakan contoh yang baik. Sekalipun kedua kelompok etnik berbeda identitas budayanya, konflik antara orang Madura dengan orang Jawa di daerah ini tidak terjadi, apalagi yang berskala besar. Kedua pihak dapat memahami dengan baik masing-masing bahasa yang digunakan, baik secara aktif maupun pasif. Pemahaman bahasa dan kemampuan komunikatif (verbal repertoire) secara timbal-balik akan meningkatkan "daya keberterimaan" masing-masing pihak.

    Dalam konteks integrasi sosial dan rekonsiliasi permanen, upaya memahami dengan baik bahasa Madura oleh orang Melayu atau Dayak merupakan sesuatu hal yang harus dipertimbangkan. Penguasaan simbol-simbol bahasa Madura yang baik merupakan pintu masuk untuk memahami perilaku sosial dan makna kebudayaan Madura. Jalan ini ditempuh untuk kepentingan meningkatkan saling pengertian, memudahkan menjalin komunikasi dan kerja sama sosial ekonomi, serta mendorong kedekatan sosial-budaya. Pencapaian ketiga hal tersebut akan mempermudah distribusi sumber daya sosial, ekonomi, dan politik lokal secara merata di kalangan kelompok-kelompok etnik, sehingga menjadi modal budaya untuk menciptakan integrasi sosial yang akan menjadi basis rekonsiliasi yang permanen dan berkesinambungan.

    TINGKAT BAHASA ( Dag ondagga basa )

    Dalam Bahasa Madura kita kenal 5 tinggkatan Bahasa :
    1. Bahasa Kraton = Abdi Dalem – Junan Dalem

    2. Biasa digunakan di lingkungan keluarga Kraton

    3. Bahasa Tinggi = Abdina – Panjennengan

    4. Biasa digunakan oleh ponggawa / bawahan pada atasan, baik di Lingkungan Kraton maupun di Lingkungan Pemerintahan, atau Santre pada Keyae.
    5. Bahasa Halus = Kaula – Sampeyan

    6. Biasa digunakan oleh yang lebih muda pada yang lebih tua / pada yang dihormati.
    7. Bahasa Menengah = Bula – Dika

    8. Biasa digunakan oleh yang lebih tua pada yang lebih muda tetapi di hormati.
      Misal : Mertua pada menantunya.
    9. Bahasa Mapas / Kasar       = Sengko’ – Ba’na – Kakeh – Sedeh

    10. Biasa digunakan oleh yang lebih tua pada yang lebih muda, orang yang mempunyai posisi yang lebih tinggi pada bawahannya, dan orang yang seumur / sebaya (teman).

    Penanda Identitas

    Unsur-unsur primordial yang mencakup kekerabatan, agama, dan bahasa merupakan penanda identitas masyarakat dan kebudayaan Madura. Kekerabatan dalam kehidupan orang Madura tidak selalu dapat dimaknai sebagai cerminan dari sikap eksklusivitas orang Madura. Sebaliknya, justru ikatan kekerabatan dapat membentuk "kekerabatn semu" (pseudo kinship) yang disebut dengan ungkapan oreng daddi taretan. Ini merupakan salah satu modal budaya untuk membangun dan mengembangkan interaksi sosial dengan kelompok etnik lain.

    Agama Islam juga merupakan identitas penting orang Madura. Dalam hal keagamaan ini, orang Madura sangat ketat untuk hal-hal yang berkaitan dengan masalah perkawinan. Dalam hal-hal lain, orang Madura juga bersikap terbuka dan menghargai perbedaan identitas keagamaan. Perbedaan keyakinan keagamaan tidak menjadi penghalang untuk menjalin kerja sama dengan orang lain. Sikap keterbukaan ini merupakan modal budaya yang bisa dimanfaatkan untuk membangun rekonsiliasi dengan kelompok etnik Melayu atau Dayak.


    Bahasa Madura merupakan identitas lain bagi orang Madura. Kemampuan orang Madura memahami bahasa Melayu harus dilihat sebagai bagian dari strategi adaptasi orang Madura untuk berintegrasi dengan masyarakat lokal di Kalimantan. Langkah demikian seharusnya juga diikuti oleh kelompok etnik lain untuk memahami eksistensi bahasa Madura. Pemahaman bersama atas kebudayaan yang dimiliki oleh masing-masing kelompok etnik sangat penting untuk modal memahami jati diri atau identitas budaya masing-masing kelompok etnik. Hal ini juga mencerminkan adanya saling pengertian dan penghargaan terhadap unsur kebudayaan yang dimiliki masing-masing kelompok etnik. Dengan jalan demikian, integrasi sosial bisa dikembangkan dan menjadi basis terbentuknya rekonsiliasi yang berkelanjutan di bumi Kalimantan.

    6.Budaya hukum suku Madura
         negara kita tidak hanya menganut hukum positif saja, namun kita juga menganut hukum adat yang merupakan hukum turun-temurun dari beberapa suku yang ada di Indonesia. hukum adat yang paling kontroversial adalah carok. carok ini berasal dari suku madura. carok merupakan kebiasaan adat mereka untuk meneyelesaikan sengketa yang terlalu memakan emosi mereka. carok ini dapat kita samakan dengan “hutang nyawa dibayar nyawa”. jika saah satu dari mereka (orang madura) yang sudah mengucap atau menantang carok dengan yang lain, maka harus dilakukan secepatnya. di dalam carok tersebut, salah seorang dari pelaku carok harus ada yang mati, karena itulah suatu kebudayaan hukum mereka.
       
         Carok merupakan tradisi bertarung satu lawan satu dengan menggunakan senjata (biasanya celurit). Tidak ada peraturan resmi dalam pertarungan ini karena carok merupakan tindakan yang dianggap negatif dan kriminal serta melanggar hukum. Ini merupakan cara suku Madura dalam mempertahankan harga diri dan "keluar" dari masalah yang pelik.
         Banyak yang menganggap carok adalah tindakan keji dan bertentangan dengan ajaran agama meski suku Madura sendiri kental dengan agama Islam pada umumnya tetapi, secara individual banyak yang masih memegang tradisi Carok.
    Kata carok sendiri berasal dari bahasa Madura yang berarti 'bertarung dengan kehormatan'.

         Biasanya, "carok" merupakan jalan terakhir yang di tempuh oleh masyarakat suku Madura dalam menyelesaikan suatu masalah. Carok biasanya terjadi jika menyangkut masalah-masalah yang menyangkut kehormatan/harga diri bagi orang Madura (sebagian besar karena masalah perselingkuhan dan harkat martabat/kehormatan keluarga).

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Untuk mengilustrasikan Suku Madura sebenarnya kita hanya butuh mengkaji satu bait syair yang dilonratkan oleh Syekh Abdul Madjid Al – Manduri yang berbunyi :
وما شيء اذا زدناه ينقص وان ينقص باذن لله زاد
Dengan makna sastra tinggi ; Sebab bagaimanapun Madura memiliki nilai hitam dan putih dengan katagori Analisa perkembangan penduduk yang banyak namun hidup diluar daerahnya atau melalui katagori strata sosialnya baik namun kasar atau pula dengan katagori seni baik namun bertentangan dengan naluri mahluk hidup seperti kerapan sapi

DAFTAR PUSTAKA


Van Dijk, K., de Jonge, H. & Touwen-Bouwsma, E., Introduction, di dalam: van Dijk et al. (penyunting),

Across Madura Strait: the dynamics of an insular society, (Leiden: KITLV Press, 1995) 1-6, via Wikipedia date 04-06-2009

Saifurrachman, Surat Kepada Anjing Hitam ‘Biografi dan Karomah Syaikhona Khalil Bangkalan’, Jakarta Pustaka Ciganjur, 1999

Rasul Junaidi, Madura Dalam Gelombang Reformasi, (Radar Madura) terbit selasa 5 Oktober 1999






0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin

Search Site